Senin, 21 Mei 2018

PERBAIKAN HUKUM SETELAH ISLAM DATANG

A. Kondisi Sosial Bangsa Arab Sebelum Islam
Dahulu, sebelum islam masuk dan berkembang pesat di Negara Arab, kondisi sosial dan budaya mereka sangat memprihatinkan. Dimana, setiap orang bebas melakukan apa saja yang ia inginkan. Aturan hanya berlaku pada kelompok-kelompok suku tertentu saja. Hal tersebut mengakibatkan banyaknya tindak kriminal yang terjadi di kalangan bangsa Arab.
Pada saat islam belum sampai di Arab, bangsa Arab dibagi menjadi dua macam yaitu:
1. Orang-orang kota atau madani (ahl al-hadaraah/town people) adalah orang-orang yang melakukan perdagangan dan sibuk dengan bepergian. Mereka juga berpegang teguh pada aturan qabilah atau suku.
2. Orang-orang padang pasir atau penduduk Arab kuno (ahl al-badiyah/the desert dwellers) adalah penduduk fakir miskin yang hidup di pinggiran desa terpencil. Mereka senang berperang, membunuh, dan kehidupannya bergantung pada bercocok tanam dan turunnya hujan. Mereka juga berpegang pada aturan qabilah atau suku dalam kehidupan sosial.
Beberapa sifat bangsa Arab sebelum islam datang:
1. Karakteristik orang arab adalah bangga dan sensitif. Bangga karena bangsa Arab memiliki sastra yang terkenal, kejayaan sejarah Arab, dan mahkota bumi pada masa klasik dan bahasa Arab sebagai bahasa ibu yang terbaik di antara bahasa-bahasa lain di dunia.
2. Secara fisik, mereka lebih sempurna dibandingkan orang-orang Eropa di berbagai organ tubuh.
3. Kurang bagus dalam pengorganisasian kekuatan dan lemah dalam penyatuan aksi.
4. Faktor keturunan, kearifan, dan keberanian lebih kuat dan berpengaruh.
5. Mempunyai struktur kesukuan yang diatur oleh kepala suku (clan).
6. Tidak memiliki hukum yang reguler, kekuatan pribadi, dan pendapat suku lebih kuat dan diperhatikan.
7. Posisi wanita tidak lebih baik daripada binatang. Wanita dianggap barang dan hewan ternak, tidak mempunyai hak. Setelah menikah, suami menjadi raja dan penguasa.
Mushthafa Sa'id Al-Khinn sebagaimana dikutip oleh Jaih Mubarok menyebutkan bahwa bangsa Arab pra Islam menjadikan adat sebagai hukum dengan berbagai bentuk.
Mereka mengenal beberapa macam perkawinan, yaitu:
1. Istibdha, yaitu seorang suami meminta kepada istrinya untuk berjimak dengan laki-laki yang dipandang mulia atau memiliki kelebihan tertentu, seperti keberanian dan kecerdasan. Hal ini bertujuan supaya istri melahirkan anak yang memiliki sifat yang dimiliki oleh laki-laki yang menyetubuhinya, yang tidak dimiliki oleh suaminya.
2. Poliandri, yaitu beberapa laki-laki berjimak dengan seorang perempuan. Setelah hamil dan melahirkan anak, perempuan tersebut memanggil semua laki-laki yang pernah menyetubuhinya untuk dipilih menjadi bapak dari anak yang dilahirkannya. Laki-laki yang ditunjuk tidak boleh menolak.
3. Maqthu, yaitu seorang laki-laki menikahi ibu tirinya setelah bapaknya meninggal dunia. Jika seorang anak ingin mengawini ibu tirinya, ia melemparkan kain kepada ibu tirinya sebagai tanda bahwa ia menginginkannya, sementara ibu tirinya tidak mempunyai kewenangan untuk menolak.
4. Badal, yaitu tukar menukar istri tanpa bercerai terlebih dahulu dengan tujuan memuaskan hubungan seks dan terhindar dari rasa bosan.
5. Sighar, yaitu seorang wali menikahkan anak atau saudara perempuannya kepada seorang laki-laki tanpa mahar.
Abdur Rahim dalam buku Kasf Al-Gumma, menjelaskan beberapa perkawinan lain yang terjadi pada bangsa Arab sebelum datangnya islam, yaitu:
1. Bentuk perkawinan yang diberi sanksi oleh islam, yakni seorang meminta kepada orang lain untuk menikahi saudara perempuan atau budak dengan bayaran tertentu (mirip kawin kontrak).
2. Prostitusi sudah dikenal. Dilakukan kepada para tamu. Jika wanitanya hamil, ia akan memilih di antara laki-laki yang mengencaninya sebagai bapak dari anaknya yang dikandung.
3. Mut'ah adalah praktik yang umum dilakukan oleh bangsa Arab sebelum islam.
Uraian singkat di atas menunjukkan bahwa kondisi sosial Arab sebelum islam cenderung primitif. Jadi dapat disimpulkan bahwa orang-orang arab merupakan golongan orang jahiliyah yakni orang yang menyembah berhala, memakan mayat binatang, melakukan amoral, meninggalkan keluarga, dan melanggar perjanjian perkawinan dengan sistem mencari keuntungan yang dilakukan kepada orang yang lemah.
B. Implementasi Adat Bangsa Arab Sebagai Sumber Hukum
Definisi adat di sini berbeda dengan definisi adat yang diakui oleh islam. Dimana, sistem kekuasaan didasarkan pada pendapat-pendapat anggota suku atau marga dalam komunitas tertentu. Pendapat atau perilaku komunitas tersebut, pada akhirnya menjadi tradisi yang baku pada setiap suku atau ras, yang kemudian diberlakukan kembali kepada anggota atau suku tersebut.
Hal itu terbukti, dalam analisis dari berbagai pola dan sistem, seperti perkawinan, ekonomi, sosial digunakan dalam menjalankan sistem kekuasaan tersebut. Fakta menunjukkan bahwa, sejak masa awal pembentukan hukum islam, kriteria adat lokal justru cukup kuat untuk mengalahkan praktik hukum yang dikabarkan berasal dari Nabi sendiri. Misalnya, dalam hukum pidana, hukuman qisas dan pembayaran diat di adopsi dari praktik masyarakat Arab pra-islam. Al-Qur'an maupun  praktek Nabi boleh jadi telah memperkenalkan beberapa modifikasi atau perubahan terhadap praktek hukuman ini, tetapi ide utama dan prinsip yang mendasarinya tidak bersifat baru dan telah lama dipraktikkan jauh sebelum islam muncul.
Pembahasan adat terus berkelanjutan sejak awal sejarah islam apakah ia dapat dipertimbangkan menjadi salah satu sumber penetapan hukum dalam islam. Menurut Joseph Schacht, secara teoritis adat tidak diakui sebagai salah satu sumber dalam Jurisprudensi islam. Akan tetapi, dalam praktiknya, adat memainkan peranan yang sangat penting dalam proses kreasi hukum islam dalam berbagai aspek hukum yang muncul di negara-negara islam. Peran aktual adat dalam penciptaan hukum senantiasa terbukti lebih penting daripada sekedar teori semata.
Atas dasar-dasar itulah, para ahli hukum islam pada perjalanan waktu berikutnya memformulasikan kaidah hukum, yaitu adat yang dapat menjadi sumber penetapan hukum islam (al-adat Muhakkamat). Para fukaha berikutnya kemudian membatasi peran adat dengan berbagai persyaratan agar falid menjadi bagian dari hukum islam, yakni:
1. Adat harus secara umum dipraktikkan oleh anggota masyarakat jika dikenal secara umum oleh semua lapisan masyarakat, atau dipraktikkan oleh sebagian kelompok tertentu.
2. Adat harus berupa suatu kebiasaan yang sedang berjalan dalam masyarakat pada waktu akan dijadikan sebagai hukum.
3. Adat harus dipandang tidak sah jika bertentangan dengan ketentuan yang jelas dari Al-Qur'an dan Hadits.
4. Dalam hal perselisihan, adat hanya akan dipakai ketika tidak ada penolakan yang jelas dan tegas untuk menggunakan adat dari salah satu pihak yang terlibat.




Referensi
Al-Hashari, Ahmad. t.t. Tarikh Al-Fiqh Al-Islami. Beirut: Maktabah Al-Kuliah Al-Wujriyah.
Dedi Supriyadi, M.Ag. 2002. Sejarah Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar