Senin, 21 Mei 2018

IJTIHAD DAN KONDISI HUKUM ISLAM MASA RASULALLAH SAW

Kedatangan Nabi Muhammad Saw dalam masyarakat Arab menyebabkan kristalisasi atau perbaikan dalam konsep ketuhanan yang mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat Arab, termasuk pada saat itu.
Nabi berhasil memenangkan hati bangsa Arab dan sangat dipercaya disebabkan karena kemampuannya dalam memodifikasi/memperbaharui jalan hidup orang-orang Arab. Sebagian nilai dan budaya Arab pra-islam diubah dan dikembangkan ke dalam bentuk tatanan moral Islam. Tentu saja pedoman yang digunakan oleh Nabi Muhammad Saw dalam menyelesaikan persoalan tersebut adalah dengan Al-Qur'an. Atas dasar wahyu yang diturunkan itulah, Nabi menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat pada saat itu. Akan tetapi, ada  kalanya timbul persoalan yang cara penyelesaiannya belum disebut oleh wahyu yang sudah diterima oleh Nabi. Dalam hal ini, barulah Nabi melakukan yang namanya Ijtihad.
Apabila ijtihad yang dijalankan Nabi benar, ketentuan atau hukum yang dikeluarkan itu tidak mendapat teguran dengan turunnya ayat Al-Qur'an. Akan tetapi, jika ijtihad itu tidak benar, ayat Al-Qur'an segera turun untuk memperbaiki dan menjelaskan hukum yang sebenarnya. Contohnya: Ijtihad Nabi mengenai hukuman bagi tawanan perang Badar. Menurut ijtihadnya, hukuman bagi mereka adalah dengan membayar tebusan. Ternyata, pendapat tersebut tidak tepat sasaran. Oleh karena itu, Allah langsung memperbaiki pendapat tersebut dengan firman-Nya. "Tidak pantas bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi, sedangkan allah menghendaki (pahala) di akhirat (untukmu)." Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah. Niscaya kamu ditimpa siksaan yang berat karena tebusan yang kamu ambil. Qs. Al-Anfal (68-68).
Atas kasus ini, dapat disimpulkan bahwa ijtihad yang dilakukan Nabi bisa saja tidak tepat sasaran. Bila hal itu terjadi, wahyu segera turun untuk menginformasikan bahwa ijtihad yang dilakukannya perlu diperbaiki.
Dalam kasus-kasus tertentu, Nabi berijtihad meskipun makna ijtihad pada masa Nabi berbeda. Apa perbedaannya? Menurut Jalaludin Rakhmat, kata 'ijtihad' pada zaman Rasulallah hanya bermakna lughawi, sungguh-sungguh. Intinya adalah ijtihad Nabi tidak seperti ijtihad para ulama di saat sekarang ini. Ijtihad Nabi hanya sebatas wahyu tidak turun, dan ketika turun maka wahyu tersebut menggantikan ijtihad Nabi. Tentu Rasulallah tidak mempunyai pilihan lain kecuali berbuat berdasarkan pendapatnya (ijtihad). Sebagaimana dijelaskan dalam H.R. Abu Dawud : "sesungguhnya aku menetapkan suatu hukum diantara kamu berdasarkan pendapatku, selama wahyu belum turun kepadaku tentang masalah itu.
Oleh karena itu, ijtihad Nabi mendapat lindungan dari Tuhan dan jauh dari kesalahan. Meskipun sulit untuk melihat apakah itu bentuk kesalahan atau tidak, secara historis, Rasulallah telah terbukti melakukan ijtihad dalam berbagai masalah yang tidak ada ketentuannya secara pasti dalam Al-Qur'an yang diwahyukan. Ijtihad yang dilakukan Nabi tersebut kemudian diwariskan kepada para generasi selanjutnya melalui sunnah Nabi yang terkandung dalam hadis secara verbal (ucapan, ungkapan).
Selanjutnya terjadilah ijtihad di kalangan para sahabat yang mana beliau tidak mencegah ataupun menyanggah mereka. Artinya, diamnya Nabi merupakan ijtihad untuk tidak melarang sahabat-sahabatnya untuk berijtihad. Adapun jenis kasusnya ialah, seperti:
1. Seorang sahabat pernah junub (hadas besar) dalam keadaan tidak ada air, sementara dia tidak tahu bagaimana cara bertayamum. Lalu dia celupkan dirinya dalam debu. Ketika hal itu disampaikan kepada Nabi Saw, beliau bersabda : "sesungguhnya sudah cukup bagimu bertayamum dengan cara begini."
2. Ketika Nabi bersama para sahabat dalam perjalanan pulang dari perang Ahzab, beliau menginstruksikan kepada mereka agar shalat ashar dilaksanakan di Bani Quraizhah. Sebagian diantara mereka tetap melaksanakan shalat ashar di perjalanan dan sebagian mengikuti instruksi beliau. Ketika peristiwa itu disampaikan kepada Nabi Saw, beliau tidak menyalahkan mereka.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan bahwa konsep Ijtihad pada masa Nabi secara umum lebih mirip dengan tasyri'. Jika hal ini dikaitkan dengan diri Nabi Saw, paling tidak ada dua hal yang perlu dikemukakan yaitu:
1. Beiau menetapkan hukum bagi suatu peristiwa berdasarkan petunjuk wahyu yang diturunkan secara bertahap sesuai kebutuhan yang ada atau wahyu tersebut berkenaan dengan masalah yang dihadapi Nabi Saw.
2. Beliau menerapkan suatu hukum peristiwa yang muncul berdasarkan petunjuk umum syariat yang difahami dari Al-Qur'an ketika wahyu tidak diturunkan atau tidak secara langsung berkenaan dengan masalah yang sedang dihadapi, sedangkan para sahabat berusaha memahami atau menerapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan petunjuk sunnah Nabi yang didasarkan pada Al-Qur'an.
Pada masa Nabi Muhammad Saw pertumbuhan fiqih mulai berkembang dan membentuk dirinya menjelma ke dalam perwujudan. Karena persoalan yang muncul dikembalikan kepada Nabi untuk diselesaikan, Nabi menjadi satu-satunya sumber hukum. Dalam artian, secara langsung pembuat hukum adalah Nabi sedangkan Tuhan membuat hukum secara tidak langsung. Hal ini karena tugas nabi dimana ia adalah penyampai dan pelaksana hukum yang ditetapkan Allah Swt.
Masa Nabi terbagi menjadi dua periode yakni:
A. Periode Makkah yang berlangsung selama 12 tahun dan beberapa bulan semenjak wahyu pertama hingga Nabi berhijrah ke Madinah. Dalam periode ini Nabi telah memfokuskan perhatiannya pada perbaikan kepercayaan masyarakat Arab dengan menanamkan aqidah (tauhid) ke dalam jiwa mereka serta memalingkannya dan memperhamba diri kepada Allah Swt. Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan di Makkah sebelum hijrah berisi larangan untuk tidak menyekutukan Allah, menyeru mereka dengan menerangkan nabi terdahulu dan sejarah dari umat-umat yang lalu, serta mengajarkan mereka untuk meninggalkan tradisi-tradisi buruk yang diwariskan oleh nenek moyang mereka, dan mengajarkan mereka untuk bersikap baik terhadap sesamanya. Muhammad Hadlori, periode Makkah dapat dilihat dari ayat-ayatnya:
1. Ayat-ayat makiyah tidak menjelaskan secara rinci tentang aspek hukum, tetapi terfokus pada tujuan agama.
2. Penegakan dalil-dalil keberadaan Tuhan.
3. Peringatan akan azab-azab Allah dan sifat-sifat hari kiamat.
4. Mengajak pada akhlak mulia.
5. Berkenaan dengan umat terdahulu yang ditimpa musibah karena tidak taat kepada para nabi sebelumnya
B. Periode Madinah, berlangsung selama 10 tahun, sejak Nabi hijrah sampai beliau wafat pada tahun 11 hijriah. Pada periode ini umat islam berkembang dengan sangat pesat.  Kemudian dibuat peraturan-peraturan yang mengatur segala keperluan mereka, baik yang berhubungan dengan pribadi maupun yang berhubungan dengan masyarakat. Hukum yang disyariatkan pada fase Madinah ialah:
1. Muamalat
2. Jihad
3. Jinayat
4. Mawaris
5. Wasiat
6. Thalaq
7. Sumpah
8. Peradilan
Analisis G.E. Von Grunebaum, menjelaskan bahwa di akhir tahun masa Nabi, beberapa hukum keluarga, baik dalam periode Makkah maupun Madinah yakni:
1. Pembatasan poligami dalam struktur keluarga jalur bapak.
2. Pengaturan kewarisan yang difokuskan pada hak individu.
3. Pembentukan adat yang religius dan pada saat yang sama diperkenalkan pelarangan tradisi penyembahan berhala dan minuman keras. Dan larangan memakan babi.
4. Tradisi sunatan diizinkan dan selanjutnya menjadi ajaran penting dalam islam.
5. Perubahan kalender tahunan dari tradisi ke kalender komariah dan tahun berdasarkan perputaran matahari.
6. Praktik shalat dan penyempurnaan haji.

Ada tiga aspek yang bisa disimpulkan dari proses pengembangan syariat pada periode Nabi Muhammad Saw, yakni:
1. Metode dalam penerapan hukum. Ketika Nabi shalat para sahabat melihat nabi dan menirukannya tanpa menanyakan lebih dalam tata cara shalat.
2. Sebagian disyariatkan, sebagian tidak. Yang disyariatkan, Seperti: Tauhid, ibadah, dan berbagai larangan lainnya.
3. Turunnya syariat secara bertahap, seperti: shalat disyariatkan pada malam isra'Mi'raj, azan pada tahun pertama hijriah, puasa, shalat led, kurban, dan zakat pada tahun kedua, hukum wariz pada tahun ketiga, dan seterusnya.




Referensi
Al-Qardlawy, Yusuf. 1987. Ijtihad Dalam Syariat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Dedi Supriyadi, M.Ag. 2002. Sejarah Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar