Senin, 20 Agustus 2018

HUKUM ISLAM PADA MASA KESEMPURNAAN FIQIH (101-350 H / 720-961 M)

A. Awal Kesempurnaan Fiqih
Awal kesempurnaan fiqih berlangsung sampai 250 tahun pada pertengahan abad ke 4 H bersamaan dengan kemajuan islam. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqi yang menyebut fase kesempurnaan ini yang dimana terjadi pada masa Bani Abbas kepemimpinan Harun Ar-Rasyid. Harun ar-Rasyid memanggil imam Maliki untuk mengajarkan putranya yaitu Al-Amin dan Al-Ma'mun tentang kitab Muwattha. Harun ar-Rasyid juga meminta Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur tentang administrasi, keuangan, dan masalah-masalah ketatanegaraan sesuai ajaran islam sehingga lahirlah buku Al-Kharaj karya Abu Yusuf. Orang-orang dikirim ke kerajaan eropa untuk mencari dan mendapatkan naskah tulisan yang berbahasa yunani kemudian diterjemahkan dulu ke dalam bahasa siriac-bahasa ilmu pengetahuan di Mesopotamia ketika itu-kemudian barulah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Ilmuan yang bertugas menerjemahkan buku-buku filsafat kedalam bahasa Arab yang diakui terkenal, diantaranya:
1. Hunain ibn Ishaq, penganut agama kristen. Pandai berbahasa arab dan yunani. Berhasil menerjemahkan 20 buku Galen ke dalam bahasa siria dan 14 buku ke dalam bahasa arab.
2. Ishaq ibn Hunain ibn Ishaq, putra Hunain ibn Ishaq.
3. Tsabit ibn Qurra, penyembah bintang.
4. Qusta ibn Luqa, penganut agama kristen.
5. Abu Bishr Motta ibn Yunus, penganut agama kristen.
Umat islam pada periode ini ingin agar segala bentuk aktivitas kehidupannya sesuai dengan ajaran islam. Hal itu memunculkan para mujtahid dari kalangan bawah maupun para penguasa. Mujtahid menjadi tempat bertanya semua umat islam sehingga berkembanglah hasil ijtihad mereka dan terbentuklah beberapa metode pengambilan hukum yang berbeda. Metode ini yang kemudian berkembang menjadi madzhab-madzhab dalam fiqih.
Pada periode ini, pembukuan berlangsung dari pembukuan tafsir Al-Qur'an, sunnah Nabi, fatwa-fatwa sahabat, tabi'in dan tabi'in al-tabi'in, fiqih para imam mujtahid, dan ilmu ushul fiqih. Pada masa ini tidak ada batasan dalam berfikir dan mengelola fikirannya sehingga sampai-sampai muncullah  pemikiran akan masalah-masalah yang akan terjadi atau bisa dikatakan pengandaian.
B. Kelahiran Mazhab-Mazhab Fiqih
Terdapat berbagai mazhab baik dari kalangan sunni maupun syiah, diantaranya terdapat 18 mazhab namun ada yang sudah tidak berpengikut lagi dan ada juga yang semakin berkembang hingga saat ini, seperti:
1. Mazhab Hanafi
2. Mazhab Maliki
3. Mazhab Asy-Syafi'i
4. Mazhab Hambali
5. Mazhab Syi'ah
6. Mazhab Zaidiyah
7. Mazhab Syiah Imamiyah
8. Mazhab Ibadhi
Adapun mazhab yang tidak berpengikut lagi, yakni:
1. Mazhab Zhahiry
2. Mazhab Hasan Al-Bashri
3. Mazhab Amir Asy-Sya'by
4. Mazhab Auza'i Laitsi
5. Mazhab Sufyan Ats-Tsauri
6. Mazhab Ath-Thabary
Sumber tasyri yang digunakan selain Al-Qur'an dan Al-Sunnah ada juga Ijma dan Qiyas. Sedangkan metode yang dipergunakan ialah, istidlal, isthsan, istishab, fatwa sahabat, urf, mashalih almursalah, sad'du adz-dzariah, dan syariat sebelum islam.
Proses bermazhab dalam perkembangannya tidak lagi mempersoalkan daerah, kota, atau tempat tinggal, tetapi lebih menekankan pada aspek personal (nama seseorang). Oleh sebab itu, secara alamiah, madzhab fiqih identik dengan nama seseorang. Selain itu perlu diketahui oleh kita semua bahwa mazhab-mazhab yang sudah tidak digunakan lagi atau tidak ada pengikut lagi dikarenakan tidak lolos pada uji coba seperti verifikasi ilmiah, dan operasional dalam suatu ruang dan waktu yang panjang sekitar enam ratus tahun. Jadi, mazhab tersebut tidak melemah ataupun hilang dengan sendirinya. Perkembangan mazhab juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dan dukungan kekuasaan politik yang senantiasa mengiringi.
Konflik antara madrasah al-hadis dan madrasah ar-ra'yu semakin menipis dikarenakan mereka tersadar bahwa masing-masing kelompok mempelajari kitab fiqih dari kelompok lain yang berbeda-beda. Proses pengkodifikasian mencakup kodifikasi fiqih serta kaidah-kaidahnya (ushul fiqh dan sumber-sumbernya); penulisan sunnah, metode penulisan fiqih, ushul fiqh, dan tafsir Al-Qur'an.

FIQIH SYIAH, KHAWARIJ DAN JUMHUR

Aliran syiah dan khawarij pada mulanya merupakan aliran politik karena sumber ikhtilaf mereka adalah tentang kepemimpinan umat islam. Dalam perjalanannya, khawarij berubah menjadi aliran kalam, sedangkan syiah memperkuat eksistensinya dalam aliran politik dengan membangun berbagai dokterin dan ajarannya, dan jumhur tetap serta mendukung pemerintahan yang Quraisy.
Konflik politik Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah ibn Abi Sufyan diakhiri dengan tahkim. Dari pihak Ali ibn Abi Thalib diutus seorang ulama yang terkenal sangat jujur dan tidak cerdik dalam politik, yaitu Abu Musa al-As'yari. Sebaliknya, dari pihak Muawiyah Ibn Abi Sufyan mengutus seorang yang terkenal sangat cerdik dalam   berpolitik, yaitu Amr Ibn Ash.
Dalam tahkim tersebut, pihak Ali ibn Abi Thalib dirugikan oleh Muawiyah ibn Abu Sufyan karena kecerdikan Amr ibn Ash yang dapat mengalahkan Abu Musa al-As'yari. Setelah peristiwa tahkim itu, paling tidak pendukung Ali terpecah menjadi dua, yakni:
1. Mereka yang terpaksa menghadapi hasil tahkim dan mereka tetap setia pada Ali ibn Abi Thalib.
2. Kelompok yang menolak hasil tahkim dan kecewa terhadap kepemimpinan Ali yang pada akhirnya mereka menyatakan diri keluar dari pendukung Ali yang selanjutnya melakukan gerakan perlawanan terhadap semua pihak yang terlibat dalam peristiwa tahkim.
Kelompok khawarij mengeluarkan beberapa pernyataan yang menuduh orang-orang yang terlibat tahkim sebagai orang-orang yang kafir. Disamping ada penentang, Ali ibn Abi Thalib juga memiliki pendukung fanatik yang senantiasa setia kepadanya, kesetiaan mereka terhadap Ali semakin bertambah, ditambah lagi setelah peristiwa terbunuhnya Ali oleh kalangan khawarij. Mereka yang fanatik terhadap Ali ibn Abi Thalib dikenal dengan kelompok syiah.
Meskipun berbeda kepentingan, dua kelompok ini sepakan menentang kekuasaan Dinasti Umayyah. Dari kalangan khawarij, ia menganggap Bani Umayyah telah menyeleweng dari ajaran islam sedangkan dari kalangan syiah menganggap bahwa Bani Umayyah telah merampas kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib dan keturunannya. Dalam suasana pertentangan tersebut, muncul ulama yang berusaha netral. Menurut kelompok tersebut, sahabat yang bertikai karena kepentingan politik tidak keluar dari islam. Kelompok ini yang kemudian dikenal dengan kelompok jumhur atau Mur'jiah.
Beberapa hasil pemikiran khawarij tentang hukum islam, diantaranya:
1. Umat islam tergolong jumhur (sunni) percaya bahwa kepemimpinan harus dipegang oleh Quraysy. Berbeda dengan hal itu, khawarij berpendapat bahwa pemimpin umat islam tidak mesti keturunan Quraysy, karena setiap umat islam berhak menjadi pemimpin.
2. Dalam al-Qur'an terdapat sanksi bagi pelaku zina, yaitu dijilid sebanyak 100× Qs. An-Nur 24:2. Disamping itu, dalam sunnah ditentukan sanksi bagi pelaku zina adalah rajam jika pelakunya sudah menikah. Khawarij tidak menerima tambahan sanksi bagi pelaku zina sesuai hadis. Mereka berpendapat bahwa sanksi bagi pelaku zina adalah 100× jilid, tidak ditambah rajam; sebab sanksi jilid ditentukan dalam al-Qur'an, sedangkan rajam ditetapkan dalam sunnah (Asy-Syaharastani, t.t.:121)
3. Dalam al-Qur'an terdapat perempuan yang haram dinikahi. Diantara yang haram dinikahi adalah anak perempuan (banatukum). Qs-An-Nisa :23-24. Menurut jumhur ulama, kata banat tidak terbatas pada anak, akan tetapi mencakup cucu dan terus dalam garis keturunan ke bawah. Namun khawarij (sekte almaimuniyyah) berpendapat bahwa menikahi cucu perempuan adalah boleh, sebab yang diharamkan adalah anak. (Asy-Syahrastani:129)
4. Khawarij pada umumnya berpendapat: menikah dengan perempuan yang tidak masuk sekte khawarij tidak sah (karena mereka termasuk kafir). Namun orang yang tidak sekelompok dengannya (tidak masuk dalam sekte khawarij)  jika menikah dengan golongan tersebut, itu berarti tidak apa-apa atau diperbolehkan.
5. Harta ghanimah dari perang melawan orang islam yang bukan dari kelompok khawarij hanya berupa senjata dan kuda.
Secara umum, sumber hukum syiah ada 2 macam, yaitu:
1. Al-Qur'an
Beberapa pendapat syiah tentang hukum islam:
a. Nikah mut'ah, seorang laki-laki menikah dengan perempuan dalam kurun waktu tertentu dan diberi sejumlah upah. Berdasr pada Q.S. An-Nisa (4) ayat 24.
b. Laki-laki muslim tidak boleh menikah dengan perempuan ahli kita. Sebab Q.S. Al-Maidah (5) ayat 5 batal dengan  Q.S. Al-Mumtahanah (60) ayat 10.
c. Syiah menolak pembagian harta pusaka dengan menggunakan konsep aul', yaitu kelebihan dalam saham para ahli waris dan besarnya asal masalah dan adanya penyusutan kadar saham mereka ( Fatchur Rahman, 1987:409).
d. Syiah berpendapat: Nabi Saw dapat mewariskan harta kepada ahli warisnya.
e. Mengenai azan, ulama syiah berpendapat setelah kalimat "Hayya 'ala al-falah" adalah "Hayya'ala khair al-'amal".
f. Pengganti Nabi Muhammad Saw telah ditentukan dengan cara wasiat yakni kepada Ali ibn Abi Thalib.
2. As-Sunnah yang bermakna lahir dan batin.
Sunnah dapat diedakan menjadi 4 dalam pandangan syiah, yaitu:
a. Hadis sahih (tradisi yang otentik) yakni hadis yang kebenarannya dapat diusut sampai kepada imam yang diceritakan oleh seorang imam yang adil atau bisa dipercaya yang dimana kejujurannya ini disepakati oleh para imam ahli hadis.
b. Hadis hasan (tradisi yang baik) yakni, sama halnya dengan hadis sahih namun pada hadis hasan ini diceritakan hanya oleh orang yang terhormat.
c. Hadis musaq (kuat) yakni, hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dikenal tsiqah, adil, benah, dan jujur oleh ahli sejarah, sekalipun bukan dari pengikut Ali.
d. Hadis dha'if (lemah) yaitu, hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis musaq.
Perlu diketahui oleh kita semua bahwa:
1. Syiah hanya menerima hadis dan pendapat dari imam syiah dan ulama syiah.
2. Dalam pengambilan tafsir menggunakan tafsir syiah saja.
3. Dalam mengambil hadis menggunakan hadis syiah saja. (Ahmad Amin {III t.t.: 254}).
Berikut ini adalah beberapa pemikiran jumhur ulama:
1. Nikah mut'ah haram dilakukan.
2. Jumhur menggunakan konsep 'aul dalam pembagian harta pusaka.
3. Nabi tidak dapat mewariskan harta karena ada hadis yang menyatakan hal demikian.
4. Jumlah perempuan yang boleh dipoligami dalam satu periode adalah empat orang, itupun merupakan pembentukan hukum islam secara berangsur-angsur.
Untuk diketahui bahwa, Jumhur dan Jumhur Ulama itu berbeda. Letak perbedaannya yaitu : jumhur digunakan untuk menyebutkan nama lain dari aliran mur'jiah, sedangkan jumhur ulama digunakan bagi kumpulan ulama-ulama islam yang musyawarah guna memutuskan suatu perkara.

HUKUM ISLAM MASA SIGHAR SAHABAT DAN TABI'IN 41-100H / 661-750 M

1). Periode Awal Sighar Sahabat dan Tabi'in
Periode Sighar (yunior) sahabat atau periode ketiga dari perkembangan fiqih ini bermula dari pemerintahan umat islam yang diambil alih oleh Muawiyah bin Abi Sufyan (41H). Pada saat itu tengah terjadi pertarungan politik yang panjang dan berujung pada terbunuhnya Ali dan penyerahan pemerintahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah.
Perkembangan hukum islam diawali dari para sighar setelah wafatnya para sahabat yang bergelar Khulafa Ar-Rasyidin. Ibnu Qayyim mencatat bahwa fiqih periode sighar sahabat dan tabi'in disebabkan oleh empat ahli hukum islam (fuqaha) terkemuka, yaitu:
1. Abdullah bin Mas'ud di Irak
2. Zaid bin Sabit di Madinah
3. Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) di Madinah
4. Ibnu Abbas di Mekkah
Pada awalnya, para mufti (pemberi fatwa) kebanyakan bertempat tinggal di Madinah. Setelah kekuasaan islam bertambah luas, mereka tinggal berpencar di berbagai kota dan tempat. Oleh sebab itu, pembentukan hukum pada masa ini melalui ijma, kemudian melakukan ijtihad perorangan.
Para sahabat sighar ini kemudian berhasil membina kader masing-masing yang dikenal dengan tabi'in.
Nama-nama tabi'in yang terkenal ialah:
1. Sa'id bin Musayyab 15H-94H Madinah
2. Atha bin Abi Rabah 27H-114H Mekkah
3. Ibrahim Annakha'i 76H Kufah
4. Al-Hasan al-Basri 21H-110H / 642M-728 M Basrah
5. Makhul di Syam Suriah
6. Tawus Yaman
Mereka kemudian menjadi guru-guru terkenal di daerah masing-masing dan menjadi panutan untuk masyarakat. Persoalan yang mereka hadapi di daerah masing-masing berbeda sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula. Dari banyaknya metode yang digunakan para sahabat ini, muncul dalam fiqih islam dua macam aliran, yakni:
1. Madrasah al-Hadis atau Madrasah al-Hijaz atau Madrasah al-Madinah
2. Madrasah ar-Ra'yu atau Madrasah al-Iraq atau Madrasah al-Kufah
Madrasah Madinah menurut Umar Sulaiman al-'Asyqar (1991:86), merupakan rujukan utama aliran Maliki yang didirikan oleh Imam Maliki. Madrasah Ra'y atau Madrasah al-Kufah adalah sekelompok ulama yang tinggal di Kufah yang lebih banyak menggunakan Ra'y dibanding dengan Madrasah Madinah. Sejak bebas untuk keluar dari Madinah, banyak sahabat yang tinggal di Kufah.
Secara umum, masing-masing madzhab memiliki ciri khas tersendiri karena para pembinanya berbeda pendapat dalam menggunakan metode penggalian hukum. Namun, perbedaan itu hanya terbatas pada masalah-masalah furu', bukan masalah-masalah prinsip ataupun syariat. Mereka sependapat bahwa sumber syariat adalah al-Qur'an dan Sunnah Nabi Saw. Semua hukum yang berlawanan dengan kedua sumber tersebut wajib ditolak dan tidak diamalkan. Mereka juga saling menghormati satu sama lain, selama yang bersangkutan berpendapat sesuai dengan garis-garis yang ditentukan oleh syariat islam.
Penjelasan menarik tentang hal tersebut diatas diberikan oleh Syayekh 'Ali Al-Khafif:
.....Hijaz adalah tempat tinggal kenabian. Disitu Rasulallah menetap, meyampaikan seruannya, kemudian para sahabat beliau menyambut, mendengarkan, memelihara sabda-sabda beliau, dan menerapkannya. Dan (Hijaz) tetap menjadi tempat tinggal banyak dari mereka (para sahabat) yang datang kemudian, sampai beliau wafat. Selanjutnya, mereka mewariskan apa saja yang mereka ketahui kepada penduduk (berikut)nya, yaitu kaum tabi'in yang bersemangat untuk tinggal disana.....
Adapun irak telah mempunyai peradaban sendiri, sistem pemerintahannya, kompleksitas kehidupannya, dan tidak mendapatkan bagian dari sunnah, kecuali melalui para sahabat dan tabi'in yang pindah kesana. Dan yang dibawa pindah oleh mereka itupun masih lebih sedikit daripada yang ada di hijaz; begitu pula kebudayaan penduduknya dan terlatihnya mereka pada penalaran adalah lebih luas dan lebih banyak. Oleh karena itulah, penalaran mereka lebih kuat terasa, dan penggunaannya juga lebih banyak, penyandaran diri padanya juga tampak lebih jelas, mengingat sedikitnya sunnah pada mereka itu tidak memadai untuk semua tuntutan mereka. Ini masih ditambah dengan kecenderungan mereka untuk banyak membuat asumsi-asumsi dan perincian karena keinginan mendapatkan tambahan pengetahuan, penalaran mendalam, dan pelaksanaan yang banyak.
Sumber tasyri pada masa ini, selain al-Qur'an dan as-Sunnah adalah Ijma' dan Qiyas. Selain itu, muncul pula beberapa metode dalam istinbath hukum yaitu istidlal, isthsan, istishab, fatwa sahabat, urf,, mashlahah almursalah, saddu adz-dzari'ah, dan syariat sebelum islam. Pada periode ini pula telah terlaksana pembukuan hadis dan fatwa atau fiqih para imam madzhab. Menurut Adz-Dzahabi (1274M-1384M) dalam Duwal al-Islam,pada masa ini dibukukan pendapat-pendapat hukum seperti, Abu Hanifah, Al-Jami' dari Sufyan Ats-Tsauri dan masih banyak lagi. Pada zaman ini pula muncul kitab hadis yang enam yakni, Al-Bukhori, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah An-Nasa'i.

DINASTI AL-MURABITUN JATUH OLEH AL-MUWAHHIDUN

Ahli sejarah mengungkapkan bahwa al-Murabitun berasal dari kabilah Lumtunah Barbariah Sonhajiah. Mereka hidup berpindah-pindah dari mulai Yaman menuju ke Syam dan ke pantai Afrika yang akhirnya tiba di Samudra Atlantik. Ini terjadi pada masa kekuasaan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Musa bin Nusair.
Seiring dengan berjalannya waktu, rombongan Ukubah bin Nusair ini semakin bertambah banyak. Munculnya Dinasti al-Murabitun ditunjang oleh jauhnya wilayah yang ditaklukan oleh Bani Abbas sehingga menyulitkannya dalam memelihara dan memerintah daerah tersebut. Ini memberi peluang yang bagus bagi daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan untuk memisahkan diri.
Disebut al-Murabitun karena para anggota di kelompok tersebut menetap di ribah, artinya kombinasi sebuah rumah peristirahatan dan perbentengan, yang di dalamnya mereka mempelajari ilmu agama dari seorang guru yang bernama Abdullah bin Yasin.
Nama khalifah-khalifah yang pernah memimpin Dinasti al-Murabitun:
1. Yahya bin Ibrahim
2. Abu Bakar bin Umar 448 H/ 1056 M
3. Yusuf bin Tasyifin 480 H/ 1087 M
4. Ali bin Yusuf 500 H/ 1106 M
5. Tasyifin bin Ali 537 H/ 1143 M
6. Ibrahim bin Tasyifin 541 H/ 1146 M
7. Ishak bin Ali 541 H/ 1147 M

Dinasti al-Murabitun mulai berkembang pada masa Abu Bakar bin Umar yang dimana ia mulai menaklukan wilayah-wilayah seperti Fez pada 663 H dan Tanjah pada tahun 664 H.
Setelah Abu Bakar wafat, ia digantikan oleh pemimpin yang bernama Yusuf bin Tasyifin yang bergelar al-Muslimin. Pada masa ini, wilayah kembali diperluas dari timur (termasuk sebagian Aljazair) hingga ke barat (tepi samudra Atlantik) ke arah selatan (meliputi Senegal) hingga sampai di Andalusia (Spanyol). Ibu kota al-Murabitun terletak di Marajesh. Kekuasaan al-Murabitun dari mulai tahun 448-541 H/ 1056-1147 M.
Suatu ketika pernah kerajaan kristen di utara yang dipimpin oleh raja Alfonso VI mengaku sebagai seorang kaisar. Ia kemudian berusaha keras untuk menghapus orang-orang islam di Spanyol. Namun Yusuf bin Tasyifin pemimpin dinasti al-Murabitun berhasil mengalahkannya. Khalifah tersebut merupakan pemimpin yang paling sukses dalam memerintah.
Perkembangan selanjutnya, setelah berakhirnya kekuasaan Yusuf bin Tasyifin, terjadilah kemunduran yang berangsur-angsur pada Dinasti al-Murabitun. Ini dikarenakan, rakyat al-Murabitun hanya terfokus pada belajar dan mengamalkan ilmu fiqih. Mereka tidak berbakat dan tidak tertarik dalam mempelajari ilmu pengetahuan lain, seperti filsafat, sains, maupun kebudayaan. Selain itu, penguasa dinasti al-Murabitun juga tidak mahir dalam memerintah. Tidak ada prestasi yang begitu berarti yang bisa mereka peroleh. Hanya sebatas menjalankan kekuasaan sebagaimana pemerintah sebelumnya menjalankan itu semua.
Selanjutnya muncullah Dinasti baru yang bernama Dinasti Al-Muwahhidun. Gerakan ini bertujuan untuk memurnikan ajaran tauhid serta menjalankan amar ma'ruf nahyi munkar. Kekuasaannya meliputi Afrika Utara bagian barat sampai ke Andalusia dan bertahan selama satu abad lebih.
Pada abad ke-5 Hijriah, di Afrika Utara bagian barat berkembang ajaran Antropomorfisme, yakni suatu faham yang berpendapat bahwa Tuhan mempunyai jasad sebagaimana manusia. Kondisi ini memunculkan gerakan yang mengajak kembali kepada kemurnian Tauhid. Muhammad bin Tumart adalah seorang murid al-Ghazali di Bagdad, pada waktu itu Bagdad merupakan pusat ilmu dan kebudayaan islam. Faham yang dipelajari dan dianut ialah Asy'ariyah karena al-Ghazali adalah penyebar faham Asy'ari.
Ilmu Tumart sepulang dari Bagdad, ia mengajarkan pengetahuannya mengenai Tauhid kepada para pengikutnya. Ia merupakan tokoh yang sangat keras menentang semua bentuk penyimpangan ajaran yang murni. Para pengikut Ibnu Tumart disebut kaum Muwahhidun. Sebutan ini juga ditunjukkan kepada kaum Murabitun yang oleh Tumart dituduh sebagai kafir yang menyatakan Tuhan berjasad seperti manusia.
Ibnu Tumart menganggap dirinya sebagai imam Mahdi yang akan memusnahkan kemunkaran dan kebodohan yang terjadi di tengah masyarakat. Gerakan Muwahhidun pernah menyerang kaum Murabitun, namun dengan segera kaum Murabitun meminta bantuan pada Amir Sijilmasa. Berkat bantuan itu, tentara Muwahhidun mengalami kekalahan. Karena terpukul batinnya, Ibnu Tumart jatuh sakit dan seling beberapa waktu, ia meninggal dunia.
Pengganti Ibnu Tumart adalah Abdul Mukmin bin Ali al-Kufi. Pada masanya, tentara al-Murabitun berhasil dikalahkan dan kekuasaannya dapat dihancurkan. Maka pada saat itu tahun 1147, berakhirlah kekuasaan al-Murabitun. Abdul mukmin kemudian menyebrang ke spanyol. Satu persatu daerah berhasil ditaklukannya, yakni hampir seluruh kawasan Spanyol, Aljazair, Tunisia, Libya. Dengan ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah islam daerah-daerah sepanjang Atlantik sampai ke perbatasan Mesir dapat disatukan dengan Andalusia dibawah satu kepemimpinan yang independen.
Kemajuan selalu berakhir dengan kemunduran, atau sebaliknya. Akibat terlalu luasnya kekuasaan, kontrol dari pusat menjadi longgar. Daerah yang ditaklukkan banyak yang lepas dan direbut oleh kristen. Makin lama makin banyak kawasan yang direbut oleh kristen sehingga kekuasaan al-Muwahhidun semakin terdesak. Pemberontakan muncul dimana-mana sehingga kekuasaan al-Muwahhidun ambruk ditelan kekuasaan-kekuasaan baru yang memerintah.